Kamis, 21 Juli 2016

Redenominasi Rupiah Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


(Redenomination of Rupiah Towards ASEAN Economic Community 2015)

Khopiatuziadah

Tulisan dimual di Jurnal Perundang-undangan Prodigy Volume 2 Nomo2 Desember 2014

Abstrak
Pertumbuhan perekonomian Indonesia beberapa tahun belakangan dinilai cukup pesat di tengah kondisi ekonomi dunia yang melemah. Tingginya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan meningkatnya transaksi keuangan dan jumlah uang yang beredar.  Namun kondisi ekonomi yang baik tersebut belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien. Saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak. Hal ini berpotensi menyebabkan inefisiensi dalam transaksi ekonomi serta mempengaruhi kesetaraan kredibilitas rupiah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Bank Indonesia telah lama mewacanakan penerapan kebijakan redenominasi yakni penyederhanaan jumlah digit pada denenominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya belinya. Pada periode keanggotaan DPR 2009-2014, Bank Indonesia melalui pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU tentang Perubahan Harga Rupiah) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai target karena kendala waktu dan situasi politik yang kurang mendukung. Namun demikian, mengingat tuntutan ekonomi dan persaingan global, kebijakan redenominasi tetap penting untuk diterapkan terlebih dengan dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ini. Redenominasi merupakan salah satu cara meningkatkan kesetaraan dan kredibilitas nilai rupiah di kawasan Asia Tenggara.
Kata kunci: redenominasi, rupiah, Masyarakat Ekonomi ASEAN

Selasa, 19 Juli 2016

Konsep Imbal Jasa Lingkungan dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air


Oleh: Khopiatuziadah[i]

Dimuat dalam Jurnal Rechtsvinding Online, 1 September 2014

Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai Konservasi Tanah dan Air. RUU ini diinisiasi oleh Komisi yang mebidangi pertanian, perkebunan dan kehutanan,  yakni Komisi IV.  Jika dilihat dari runtutan waktu, RUU tentang Konservasi Tanah dan Air sebenarnya bukan ide baru. Usulan pembentukan RUU ini sudah muncul sejak periode keanggotaan 2000-2004 dan 2004-2009.  Pada Prolegnas Jangka Panjang  2010-2014, RUU ini kembali masuk ke dalam daftar RUU yang akan diselesaikan pada periode tersebut di nomor urut 153 dan beberapa kali masuk dalam daftar prioritas tahunan, terakhir pada Prolegnas Tahun 2013 Nomor 04A/DPRRI/II/ 2012-2013 dengan nomor urut 61.

Selasa, 19 Mei 2015

Implikasi Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 Terhadap Kewenangan Penanganan Sengketa Perbankan Syariah

Khopiatuziadah[1]
Dimuat dalam Jurnal Perundang-undangan PRODIGY, Vol 2, No.1 Juni 2014
Abstrak
Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 memberikan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi. Namun demikian putusan tersebut masih meninggalkan catatan terkait dengan dihapuskannya secara keseluruhan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah yang juga menyebutkan cara-cara penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, padahal norma Pasal 2 yang membuka peluang penyelesaian sengketa selain di pengadilan pgama tidak dihapuskan. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian karena adanya multi-interpretasi terhadap ketentuan tersebut yang tidak sepenuhnya menuntaskan permasalahan. Bagi pengadilan agama, Putusan MK ini menjadi titik awal bagi terbukanya peluang sekaligus tantangan guna meningkatkan kinerja pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek penting yang menjadi peluang dan tantangan yakni, aspek formil, materil dan sumber daya manusia.
Kata kunci: penyelesaian sengketa, perbankan syariah, peradilan agama.

Abstract
Based on decision of The Constitutional Court No. No.93/PUU-X/2012, the religious court is the one and only authority to resolve shari’ah banking dispute case through litigation. However, the decision remains have a problem associated with the elimination of an overall explanation of Article 55 paragraph (2) of the Islamic Banking Act which also mentions other alternative ways of resolving disputes through non-litigation, even though the norms of Article 2 which opens opportunities for dispute resolution other than in the religious court is  not eliminated. This result in uncertainty due to the multi-interpretation of such provisions and doesnot fully resolve the problem. For the religious court, the Constitutional Court Decision is the starting point for opening up opportunities and challenges in order to improve the performance of religious courts in Islamic banking disputes. There are three important aspects namely:  formal, material and human resources.  
Keywords: dispute resolution, shariah banking, the religious court

I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Pasal 55 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU tentang Perbankan Syariah) beserta penjelasannya dinilai mengandung dualisme pengaturan dalam hal penanganan sengketa perbankan syariah. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dualisme muncul akibat adanya alternatif pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada lembaga peradilan umum.
Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa ”Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.” Sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyatakan:  “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Dalam hal ini diberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih jalur non litigasi di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, jika disepakati sejak awal dalam akad perjanjian. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dalam bidang keperdataan bahwa perjanjian bagi para pihak menyepakatinya merupakan suatu undang-undang yang mengikat. Prinsip yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak inilah yang kemudian menjadi dasar dibukanya suatu choice of forum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah. Ketentuan inipun pada dasarnya sejalan dengan beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU tentang Arbitrase dan APS).